×

Negeri Tanpa Musibah, di Manakah Itu?

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96).

AYAT di atas menjelaskan tentang janji Allah akan berkah dan musibah. Siapapun yang beriman dan bertaqwa berarti mengundang berkah. Namun, bagi orang-orang yang ingkar dan maksiat berarti mengundang musibah. Iman dan Taqwa itu adalah kunci keberkahan di dunia dan akhirat. Sedangkan ingkar dan maksiat itu adalah kunci musibah di dunia maupun akhirat.





Allah tidak pernah berbuat dzalim pada hamba-hamba-Nya. Karena sesungguhnya orang yang ditimpa musibah – atau mungkin azab – itu adalah hasil dari perbuatan dirinya sendiri. Allah berfirman:

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja yang menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79).

Karena itu, jika dilihat dari kacamata ‘negeri yang bebas dari musibah’ maka adalah hal yang tidak mungkin terjadi pada saat ini.

Kerap kita lihat banyaknya musibah yang menimpa penduduk di berbagai negara, mungkin hal itu adalah peringatan agar para penduduk negeri itu agar taat kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat.

Adapun saat Allah menimpakan musibah pada suatu kaum, maka tak akan ada yang lolos satupun dari takdir-Nya, kecuali jika Allah mengizinkan seseorang untuk selamat dari musibah tersebut. Entah itu pemabuk, pelacur, penjudi, guru, bayi, anak-anak, tukang cukur, pedagang, dan sebagainya akan menjadi korban musibah yang Allah timpakan kepada kaum yang ingkar.

Hal ini berbeda dengan kondisi pada zaman di saat hukum Islam ditegakkan, seperti pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah.


Dikisahkan pada hari kedua dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Dihujung khutbahnya, Umar berkata “Wahai manusia, tiada Nabi selepas Muhammad SAW dan tiada kitab selepas al-Quran. Aku bukan penentu hukum, aku hanya pelaksana hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah malah aku seorang yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling baik dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa di sisi Allah.”

Beliau kemudian duduk dan menangis “Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku,” sambung Umar bin Abdul Aziz.

Begitupun saat beliau pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isterinya. “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?” Beliau menjawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jabatan ini dan aku tengah teringat pada orang-orang miskin, ibu-ibu janda, anaknya banyak, rezekinya sedikit. Aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara’ kaum Muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujjah-hujjah mereka. Karena sebagai khalifah aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah.’’ Isterinya pun turut mengalir air mata.

Umar bin Abdul Aziz mulai memeritah pada usia 36 tahun selama 2 tahun 5 bulan 5 hari. Dan atas izin Allah, pemerintahan beliau amat menakjubkan. Pada waktu inilah dikatakan tak ada seorangpun umat Islam yang layak menerima zakat, hingga harta zakat yang menggunung itu terpaksa ditabung sebagai biaya bagi orang yang tak punya biaya menikah dan hal lainnya.

Itulah gambaran sebuah negeri yang dipimpin oleh pemimpin yang taat kepada Allah dan mampu menerapkan syariat Islam di negerinya. Rakyat pun ikut mendapat berkah dan mampu hidup tenteram dan sejahtera.

Sudahkah negeri kita seperti itu? Wallahualam. []