Islam itu satu, jangan dibeda-bedakan. Jika ada perkara kita lakukan tak sama, bukan berarti kita beda, selama memiliki dalil shahih.
Contohnya Qunut. Qunut subuh dan bila tidak melakukannya harus sujud sahwi adalah pendapat mazhab Syafi’i.
Subuh tidak perlu berqunut adalah pendapat mazhab Hanafi, pendapat tersebut juga didukung dengan banyak hujjah.
Imam mengeraskan bacaan Basmalah saat Shalat, ataupun tidak mengeraskan bacaan Basmalah juga sama2 didukung hujjah yg kuat.
Adzan 2 kali saat shalat jumat ataupun adzan 1 kali juga sama-sama didukung hujjah yg kuat.
Dan masih banyak masalah fiqh lainnya banyak terjadi perbedaan yg masing-masing memiliki hujjah yg kuat.
Untuk itu tidak perlu kita berselisih faham hanya gara-gara masalah furu’ sedemikian. Ukhuwwah Islamiyyah haruslah menjadi fokus utama.
KH Abdullah Syafi’i pernah mengimami shalat subuh tanpa qunut saat dibelakang beliau bermakmum Buya Hamka yg biasa tak berqunut.
Buya Hamka pernah mengimami shalat subuh dengan qunut saat dibelakang beliau bermakmum KH Abdullah Syafi’i yg biasa berqunut.
Tak pernah KH Abdullah Syafi’i menyebut Buya Hamka sebagai Wahabi. Tak pernah Buya Hamka menyebut KH Abdullah Syafi’i ahlul bid’ah.
KH Rahmat Abdullah murid KH Abdullah Syafi’i, pernah mengajarkan Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam halaqah-halaqah.
KH Rahmat Abdullah juga mengajarkan Kitab Al-Hikam karya Imam Ibnu Athoillah As-Sakandary yang biasa jadi rujukan para sufi.
Di tanah Betawi yang tak seberapa luas Buya Hamka dan KH Abdullah Syafi’i sama-sama mengembangkan dakwahnya dengan baik tanpa bergesekan.
Mengapa? Karena mereka sama-sama mencari jalan menuju syurga yg luasnya tak berhingga.
Itulah suluk para ulama, mereka betul-betul menghormati ulama lainnya dengan penuh kecintaan walau mungkin diantara mereka ada beberapa perbedaan.
Dan demikian pula seharusnya kita menghormati para ulama dan kelompok-kelompok Islam manapun yg berjuang menegakkan Islam.
Disarikan dari kultwit #IslamSatu @TanpaJIL