Alasan Logis Dibalik Tradisi Kuburan Ari-ari
Saat pindah di Yogyakarta, saya banyak mengamati kebiasaan setempat yang menarik, khususnya karena hal itu jarang saya jumpai di tempat asal saya di daerah Banyumas. Salah satu kebiasaan ini adalah saat ada keluarga yang baru saja memiliki anak maka di depan rumah tersebut ada nyala lampu berkelap kelip yang dipasang di halaman. Boleh jadi langkah ini sebagai petunjuk bagi orang lain untuk mengetahui rumah yang kebagian karunia mendapat kelahiran anak baru. Hal ini seperti juga kalau orang mengadakan acara perkawinan, maka lokasi rumah yang punya hajat atau tempat resepsi perkawinan biasa ditandai dengan keberadaan hiasan rangkaian dekorasi janur melengkung atau penjor.
Setelah tanya-tanya barulah tahu bahwa lampu yang dipasang itu adalah tempat dimana ari-ari bayi atau tali pusar dari bayi itu dikuburkan. Bagi orang Jawa yang masih kental budayanya, ari-ari bayi dianggap sebagai kembaran maya dari bayi yang dilahirkan. Untuk itu ari-ari harus diperlakukan dengan baik secara khusus pula. Prosesnya meliputi pembersihan atau penyucian ari-ari, selanjutnya dikafani dan dikubur dengan baik. Penguburan ari-ari ini berbeda dengan penguburan jenasah baik bayi atau orang dewasa yang harus dilakukan di tanah pemakaman atau kuburan. Kalau ari-ari cukup dikuburkan di halaman sekitar rumah saja.
Kuburan ari-ari dengan lampu penerang.
Kuburan ari-ari dengan lampu penerang. (Sumber : indirapramesthi.blogspot.com)
Tentu saja karena berada di halaman rumah maka sangat dimungkinkan menjadi tempat hilir mudik orang dan bisa saja kuburan ari-ari yang masih baru itu terinjak. Walaupun sebenarnya hal ini tidak menjadi masalah, namun kalau bisa dihindari tentu akan lebih baik. Kalau kuburan umum untuk tanda dilakukan dengan penggunaan cungkup atau batu nisan, maka kuburan ari-ari ini ditandai sementara dengan penggunaan nyala lampu. Inipun sebenarnya dilakukan sebentar saja paling seminggu atau mungkin digenapkan sampai jangka waktu selapan (tiga puluh lima hari).
Pemikiran lain akan alasan di balik kebiasaan ini, menurut saya mungkin untuk mengusir binatang yang mungkin tertarik akan mengorek dan membongkar kuburan ari-ari ini. Bisa jadi, hewan seperti kucing atau anjing akan datang mengorek kuburan dan mungkin memangsanya. Jadi kalau ada cahaya dan nyala api maka mungkin hewan akan menjadi takut untuk mendekat.
Penggunaan lampu ini kalau dulu adalah dilakukan dengan menggunakan lampu minyak tanah. Penggunaan lilin sangat jarang, mungkin karena gampang mati dan nyalanya tidak bertahan lama. Lilin yang ada di pasaran memang berbeda dengan lilin yang banyak digunakan oleh kalangan kristiani untuk acara persembahan. Saat ini mungkin karena alasan minyak tanah mahal atau susah pembeliannya, serta juga karena susah untuk dapat memperolehnya lampu minyak tanah, maka hal ini telah dimodernisasi dengan menggunakan lampu listrik ukuran lima watt.
Kuburan ari-ari
Waktu anak saya pertama lahir, kebetulan masih tinggal di PMI dan saya juga pas masih berada di Austria, jadi tidak bisa menunggui kelahiran termasuk merawat ari-arinya. Yang jelas ari-ari juga dikubur dan diberi lampu oleh keluarga. Untuk kelahiran anak kedua maka penguburan ari-ari dapat saya lakukan sendiri di halaman rumah. Penggunaan lampu juga tetap saya ikuti untuk dipasang di lokasi kuburan ari-ari ini. Bahkan saya ingat lampu yang saya pasang adalah lamur jenis candle light (lampu lilin) yang berkedip-kedip secara otomatis mirip dengan cahaya nyala api minyak tanah.
Upacara mirip hal itu yang terakhir juga saya lakukan adalah saat isteri saya operasi usus buntu. Setelah operasi selesai saya diberi satu toples kecil oleh perawatnya yang ternyata isinya adalah potongan usus hasil operasi. Karena bingung mau diapakan, maka dengan menganggap sama seperti ari-ari, potongan organ ini dicuci da dibungkus kain, kemudian dikuburkan di lokasi yang seingat saya bersebelahan dengan kuburan ari-ari anak kedua saya. Tentu saja tetap diberi nyala apa hanya saja saat itu digunakan lilin saja. Itupun semalam saja sepertinya.
Demikianlah salah satu tradisi leluhur yang kadang meskipun kita tidak tahu maknanya, tetapi harus dilakukan juga. Untuk menghindari kemusyrikan, tentu saja dilakukan dengan tidak ada maksud permohonan tertentu melainkan diniati hanya untuk langkah penguburan biasa. Pemasangan lampu dimaksudkan hanya untuk mengusir binatang tidak mendekat dan tidak ada maksud khusus lainnya.
Mengapa Ari-Ari Bayi Harus Dikuburkan?
Kelahiran merupakan momen yang ditunggu oleh orangtua, setelah menunggu selama sembilan bulan akhirnya si jabang bayi keluar dari perut ibu, tentu ini merupakan anugerah yang diterima oleh setiap pasangan. Namun tahukah Anda ada daya magis yang tersembunyi dari tali pusar seorang bayi.
Dalam budaya Jawa, ternyata dalam menangani talipusar pun ada tata cara tersendiri, karena menurut kepercayaan masyarakat Jawa, tali pusar sangat berhubungan erat dengan bayi, dan sering disebut kembaran atau penjaga bayi saat di dalam rahim ibu.
Adapun cara untuk menanam tali pusar disesuaikan berdasarkan urut-urutan. Tali pusar jabang bayi dimasukkan ke dalam tempat yang terbuat dari tanah liat, bentuknya seperti kuali kecil, kemudian tali pusar dibungkus dengan kain putih atau mori itu, juga disertakan dengan bunga setaman.
Syarat menanam tali pusar harus diperhatikan seperti sebisa mungkin tidak mudah diambil oleh orang lain, atau menggali tanahnya terlalu dangkal. Ketika mengubur tali pusar diiringi dengan do’a, kemudian memasukkan tali pusar dan wadanya ke dalam lubang yang telah dipersiapkan.
Lubang yang dibuat untuk menanam tali pusar bertempat di depan rumah yang ditinggali selama ini. Persyartan lainnya adalah apabila bayi yang dilahirkan berjenis kelamin laki-laki, maka untuk menanam tali pusar lubangnya dibuat di sebelah kanan dari pintu depan rumah. Jika bayi yang dilahirkan adalah perempuan, lubang untuk menanam tali pusar diletakkan di sebelah kiri pintu rumah.
Setelah semua prosesi diselesaikan tidak lupa lokasi tempat untuk menanam diberikan tetenger (tanda-red) atau penutup. Bisa anyaman bambu yang dibuat seperti kurungan ayam, atau sebuah ember berwarna merah, bisa juga kuali sedang yang bawahnya dipecah, dan beberapa penutup lainnya.
Hal ini dibiarkan selama beberapa bulan diberikan lampu penarangan berupa lampu listrik lima watt atau kalau tradisional menggunakan lampu minyak tanah, seperti lampu dian, lampu teplok, atau ting. Lampu dinyalakan hanya menjelang malam hingga pagi, atau saat matahari terbenam saja, sedangkan siang hari, lampu penerangan tersebut dimatikan.
Kadang-kala diwaktu hari-hari tertentu, tempat tali pusara bayi diberikan bunga setaman. Misalnya saja pada saat bayi menderita sakit, seperti demam, sering menangis tengah malamnya, dan tangisan jabang bayi yang tidak wajar yaitu menangis tetapi tidak mengeluarkan air mata. Ini merupakan pertanda jika bayi diganggu oleh makhluk halus dan sejenisnya.
Untuk memberikan kekuatan pada sang bayi khususnya secara ghaib, disarankan sering diadakan bancaan (selamatan) pada hari weton atau pasarannya. dan juga menaruh bunga setaman tepat di tali pusar yang sudah dipendam. Begitu jabang bayi telah menginjak dewasa dan sudah bisa mandiri, bekerja sendiri, mencukupi kehidupan sendiri dan lain sebagainya bekas tali pusar juga bisa dimanfaatkan untuk media keselamatan dan ketentraman.
Bagaimana Pandangan Islam?
Sebelum membahas persoalan ini lebib lanjut, satu hal yang perlu ditegaskan, tulisan dalam risalah sederhana ini tidak dimaksudkan untuk menghukumi bahwa perilaku dalam adat tertentu itu syirik atau tidak. Sebab, persoalan syirik atau tidak itu letaknya di dalam hati; apakah seseorang menyekutukan Allah Swt. atau tidak; apakah seseorang mempunyai keyakinan bahwa ada kekuatan lain selain Allah atau tidak; apakah seseorang mempunyai ketakutan kalau tidak melakukan sesuatu akan berakibat buruk bagi nasibnya atau tidak, padahal perbuatan itu sama sekali tidak Allah perintahkan, dan sebagainya.
Namun, apabila di dalam hati seseorang sudah tumbuh kepercayaan yang kalau mau jujur diakui pada ujungnya adalah menyekutukan Allah Swt., sudah barang tentu sikap semacam ini sama sekali tidak dapat dibenarkan. Di sinilah sesungguhnya pentingnya menjaga hati agar senantiasa dalam tauhid. Bahwa Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Esa. Hanya Dia-lah Yang Mengatur alam semesta ini; termasuk nasib dan takdir dari setiap manusia.
Demikian pula dalam masalah ari-ari. Sayangnya untuk masalah ini tidak dijumpai hadis Nabi Saw. yang dapat dijadikan rujukan. Namun, para ulama memandang bahwa ari-ari atau tembuni memang berguna ketika bayi dalam kandungan. Tetapi, setelah keluar bersama bayi pada saat dilahirkan, maka ari-ari adalah barang yang tidak berguna lagi.
Tidak ditemukan pula satu dalil pun yang mengatakan bahwa ari-ari itu mempunyai ruh; apalagi yang mengatakan bahwa ruh itu bisa berhubungan erat dengan sang bayi. Misalnya, kalau di timbunan ari-ari itu tidak diberi bunga, maka ruh dari sedulur bayi itu akan mengganggu sehingga sang bayi akan terus-menerus menangis. Juga tidak ditemukan satu dalil pun yang mengatakan bahwa ruh dari sedulur itu kelak bisa ditemui oleh sang anak bila sudah dewasa, melalui ritual tertentu, sehingga bisa memberikan pertolongan.
Memang, ada beberapa orang yang mengaku pernah dan atau bisa bertemu dengan sedulur-nya itu. Menurut penelusuran penulis, juga berdasarkan pendapat beberapa ulama, yang menemui itu adalah perwujudan dari jin, yang beberapa pendapat menyebutnya sebagai qarin. Sungguh, dalam hal ini kita perlu berhati-hati agar tidak terperosok ke dalam sebuah keyakinan yang pada ujungnya ternyata menyekutukan Allah Swt.
Kembali kepada masalah ari-ari atau tembuni, berkaitan dengan para ulama yang mengatakan bahwa ari-ari tersebut sudah tidak berguna lagi setelah bayi lahir, juga tidak ada satu pun dalil yang mengatakan bahwa ari-ari tersebut mempunyai ruh, maka para ulama mengajarkan agar ari-ari itu hendaknya dikubur atau ditanam begitu saja.
Dalam hal ini, H. Munawir Abdul Fattah, dalam sebuah bukunya yang berjudul Tradisi Orang-Orang NU, mengutip kitab Nihâyat al-Muhtâj, yang menjelaskan bahwa disunnahkan mengubur sesuatu (anggota badan) yang terpisah dari seorang yang masih hidup atau yang diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, dan darah akibat goresan, demi menghormati pemiliknya.
Dengan demikian, jelas sudah tentang bagaimana cara kita dalam memperlakukan ari-ari, yakni dikubur atau ditanam begitu saja tanpa perlu diberi sesuatu atau uba rampe tertentu. Mengubur atau menanam ari-ari adalah suatu kebaikan karena ia pernah menjadi bagian dari sang bayi ketika masih dalam kandungan. Menanam ini juga dikiyaskan dengan rambut atau kuku setelah dipotong sebaiknya ditanam sebagaimana diriwayatkan oleh beberapa sahabat. Jadi, justru tidak dibenarkan apabila dibuang begitu saja. Selain itu, perbuatan main buang saja yang seperti itu tentu bukan mencerminkan perilaku orang beriman yang menganggap penting masalah kebersihan.
Dikarenakan penguburan ini berangkat dari sebuah kenyataan bahwa ari-ari itu memang pernah menjadi bagian dari sang bayi ketika masih di dalam kandungan, tidak masalah jika sebelum dikubur dibersihkan terlebih dahulu; tidak masalah juga jika dimasukkan dalam sebuah wadah tertentu kemudian ditutup agar tidak berbau, baru kemudian ditanam. Asalkan, ini yang paling penting, jangan pernah punya keyakinan kalau tidak begini maka akan begitu; kalau tidak begitu maka nasib sang bayi akan begini. Sebab, hanya Allah Swt. Yang Mahakuasa dan Mempunyai Kekuatan. Hanya kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan.
Kepercayaan dan Cara Menguburkan Ari-Ari
Bagi masyarakat Nusantara, Islam tidak lagi dipandang sebagai ajaran asing yang harus difahami sebagaimana mula asalnya. Islam telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan keseharian, mulai dari cara berpikir, bertindak dan juga bereaksi. Sehingga Islam di Nusantara ini memiliki karakternya tersendiri. Sebuah karakteristik yang kokoh dengan akar tradisi yang mendalam. Yang dibangun secara perlahan bersamaan dengan niat memperkenalkan Islam kepada masyarakat Nusantara oleh para pendakwah Islam di zamannya.Diantara tradisi yang hingga kini masih berlaku dalam masyarakat Islam Nusantara, khususnya di tanah Jawa adalah menanam ari-ari setelah seorang bayi dilahirkan dengan taburan bunga di atasnya. Atau dengan menyalakan lilin di malam hari. Apakah Islam pernah mengajarkan hal yang demikian?Menanam ari-ari (masyimah) itu hukumnya sunah. Adapun menyalakan lilin dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya haram karena dianggap sebagai tindakan membuang-buang harta (tabdzir) yang tak ada manfaatnya.
Mengenai anjuran penguburan ari-ari, Syamsudin Ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj menerangkan
وَيُسَنُّ دَفْنُ مَا انْفَصَلَ مِنْ حَيٍّ لَمْ يَمُتْ حَالاًّ أَوْ مِمَّنْ شَكَّ فِي مَوْتِهِ كَيَدِ سَارِقٍ وَظُفْرٍ وَشَعْرٍ وَعَلَقَةٍ ، وَدَمِ نَحْوِ فَصْدٍ إكْرَامًا لِصَاحِبِهَا.
“Dan disunnahkan mengubur anggota badan yang terpisah dari orang yang masih hidup dan tidak akan segera mati, atau dari orang yang masih diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, ‘alaqah (gumpalan darah), dan darah akibat goresan, demi menghormati orangnya”.
(المُبَذِّرُ لِمَالِهِ) أَيْ بِصَرْفِهِ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ (قَوْلُهُ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ) وَهُوَ كُلُّ مَا لاَ يَعُوْدُ نَفْعُهُ إِلَيْهِ لاَ عَاجِلاً وَلاَ آجِلاً فَيَشْمَلُ الوُجُوْهَ المُحَرَّمَةَ وَالمَكْرُوْهَةَ.
“(Orang yang berbuat tabdzir kepada hartanya) ialah yang menggunakannya di luar kewajarannya. (Yang dimaksud: di luar kewajarannya) ialah segala sesuatu yang tidak berguna baginya, baik sekarang (di dunia) maupun kelak (di akhirat), meliputi segala hal yang haram dan yang makruh”.
Sumber: