Oleh : Abdul Muhaimin Mahmood
Akhir akhir ini kita dapat melihat betapa masyarakat kita sangat bersemangat dalam berhutang untuk mendapatkan barang keperluan dan perkara yang mereka hajatkan.
Berhutang pada sebagian orang telah menjadi budaya untuk menunjukkan kemewahan dan bermegah-megah dengan harta dan barang yang mereka miliki.
Musim perayaan, liburan dan akhir tahun , makin menjadikan dorongan untuk berhutang karena mau menampakkan kemewahan untuk mendapatkan semua yang baru, meskipun yang lama masih bagus atau barangkali hanya baru dipakai sekali atau dua kali saja. Istilahnya biar miskin asal bergaya nampaknya makin menular dalam masyarakat dewasa ini.
Perasan atau tidak, hakikatnya masyarakat kita kini telah terperangkap dalam fenomena suka berhutang walau membahayakan dirinya , tetapi anehnya kebiasaan berhutang ini mereka anggap menunjukkkan dirinya sebagai suatu level kelas tertentu, karena mereka dipercaya oleh perbankan.
Amat pilu dan menyedihkan lagi, yang terlibat dalam fenomena ini juga adalah orang Islam yang memiliki akidah dan pegangan mereka.
Hari demi hari keadaan ini makin memilukan apabila aktivitas berhutang telah menjadi asas kehidupan masyarakat dewasa ini.
Tidak dinafikan berhutang adalah sesuatu yang dibolehkan dalam Islam bagi mereka yang memerlukan dan berhajat kepadanya, namun dalam masa yang sama perlu juga kita tahu bahwa Islam sesekali tidak menggencarkan umatnya untuk berhutang dan dijadikan sebagai cara untuk bermewah-mewah, bermegah-megah tanpa alasan asas dan keperluan yang mendesak.
Lebih memilukan lagi terdapat sebagian orang yang beranggapan hutang adalah merupakan mekanisme, kaedah dan teknik terbaik untuk mencapai keuntungan serta mengekalkan kekayaan sebuah perusahaan atau individu.
Semakin banyak transaksi berdasarkan hutang bermakna makin berkembang amalan riba, penghianatan , penyogokan , penyimpangan muamalah , penipuan, pemerasan dan korupsi , pembunuhan, makin kurang produktivitas kerja, keruntuhan rumah tangga yang meningkat dan sebagainya.
Ini karena penyakit suka berhutang merupakan salah satu faktor penyebab dan penyumbang kepada masalah tersebut.
Tamaknya akan harta dan cintakan dunia telah melupakan manusia pada akhirat. Kecintaan mereka pada dunia melupakan dampak buruk dari perbuatan tersebut.
Mereka lupa pada sabda Rasulullah SAW: “Diampunkan semua dosa bagi syuhada, kecuali jika dia mempunyai hutang (kepada manusia).” (Hadis Riwayat Muslim, 6/38).
Mereka lupa Rasulullah sentiasa mohon dilepaskan dari belenggu hutang.
Dalam satu hadis diriwayatkan bahawa Baginda kerap mengajarkan kepada umatnya supaya berdoa dilepaskan daripada hutang: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu daripada dosa dan hutang.” Lalu baginda ditanya: “Mengapa engkau sering meminta perlindungan daripada hutang, wahai Rasulullah?” Baginda menjawab: “Jika seseorang berhutang, apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mengingkari.” (Hadis Riwayat Al-Bukhari, 1/214).
Tidak sedikit juga dewasa ini, individu yang suka berhutang atau meminjam dengan niat untuk tidak memulangkan kembali.Mereka ini lupa pada sabda nabi SAW “Barang siapa meminjam harta orang lain dengan niat ingin mengembalikannya, Allah akan mengembalikan pinjaman itu, namun siapa yang meminjamnya dengan niat ingin merugikannya, Allah akan merugikannya.” (Riwayat Al-Bukhari, 2/83).
Budaya suka meminjam berpotensi menyebabkan seseorang individu menjadi muflis (bangkrut) diakhirat nanti. Sekiranya mereka tidak dapat melunaskan hutang mereka didunia, mereka akan dituntut membayarnya di akhirat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ.
Maksudnya:
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW, bersabda: “Tahukah kamu siapakah orang Muflis? ” Sahabat-sahabat Baginda menjawab: “Orang Muflis di antara kami, ya Rasulullah ialah orang yang tidak ada uang dan tidak ada harta benda;” Nabi SAW., bersabda: “Sebenarnya orang Muflis dari kalangan umatku ialah orang yang datang pada hari qiamat membawa pahala sholat , puasa dan zakat, sedangkan mereka datang dengan kesalahan memaki , orang ini banyak menuduh , memakan harta orang lain, menumpahkan darah, memukul orang; maka kelak akan diambil dari amal kebajikannya untuk diberi kepada orang ini dan orang itu; kemudian kiranya telah habis amal kebajikannya sebelum habis dibayar kesalahan-kesalahan yang ditanggungnya, maka akan diambil pula dari kesalahan-kesalahan orang yang dianiayanya dan akan ditimpakan ke atasnya, kemudian ia dilemparkan ke dalam Neraka.
Islam membolehkan meminjam dan berhutang bagi mereka yang memerlukannya. Namun demikian, ia tidak boleh dijadikan sebagai cara dan wasilah untuk bermewah mewah dan bermegah-megah , atau dibuat dengan berleluasa tanpa keperluan dan asas yang benar.
Cintakan dunia, tamak, riya’, takabbur, hasad, suka pamer dan tidak bersyukur dengan yang ada adalah faktor penyumbang kepada tabiat suka berhutang yang akan membawa kepada kesengsaraan di dunia dan akhirat. Untuk mengatasi sikap suka berhutang, harus mengetahui faktor-faktor yang menjurus kepadanya dan segera diatasi dan diperangi dengan gigih dan sabar.
Seorang yang saleh harus merumuskan cara melawan musuh dan hasutan syaitan atau mengikut hawa nafsu. Ini adalah perenungan terkait cara-cara dari pintu manakah syaitan masuk ke dalam diri manusia terkait masalah hutang ini . Ternyata setan masuk ke dalam diri manusia melalui sepuluh pintu yaitu:
Tamak dan buruk sangka. Maka aku menghadapinya dengan sifat menaruh kepercayaan pada apa yang ada.
Cintakan kehidupan dunia dan panjang angan-angan, lalu saya menghadapinya dengan perasaan takut terhadap kedatangan maut yang bisa terjadi pada setiap waktu.
Cintakan kenyamanan dan kemewahan, lantas aku menghadapinya dengan keyakinan bahwa kenikmatan itu akan hilang dan balasan buruk pasti menanti.
Kagum terhadap diri sendiri (‘ujub) lantas saya menghadapinya dengan rasa terhutang budi kepada Allah dan kepada akibat yang buruk.
Memandang rendah terhadap orang lain dan tidak menghormati mereka. Lalu saya menghadapinya dengan mengenali hak-hak serta menghormati mereka secara wajar.
Hasad (dengki) lalu saya menghadapinya dengan sifat qana `ah dan ridha terhadap kurnia Allah SWT kepada makhlukNya.
Riya’ dan sukakan pujian orang. Lalu saya menghadapinya dengan ikhlas.
Bakhil , lalu saya menghadapinya dengan menyadari bahawa apa yang ada pada makhluk akan binasa dan yang kekal itu berada di sisi Allah SWT.
Takabbur , lalu saya menghadapinya dengan rasa tawadhu’.
Tamak , lalu saya menghadapinya dengan mempercayai ganjaran yang disediakan di sisi Allah SWT dan tidak tamak terhadap apa yang ada di sisi manusia. (Fathi Yakan, Maza yakni i’timai bi al-Islam. Lihat juga: Zulkifli Bin Mohammad al-Bakri, Integriti dalam Islam, Universiti Sains Islam Malaysia:Nilai, 2007, hlm.91-92.