×

MUI Keluarkan “Taujihat Surabaya”, Soroti Pemikiran Liberal dan Ekstrim

SEBELUM mengumumkan Ketua Umum MUI Periode 2015-2020, Pimpinan Sidang Pleno H. Slamet Effendy Yusuf membacakan “Taujihat Surabaya” yang isinya menjelaskan tentang Islam Wasathiyah untuk Indonesia dan Dunia yang Berkeadilan dan Berkeadaban.

Musyawarah Nasional IX Majelis Ulama Indonesia (Munas IX MUI) yang diselenggarakan di Surabaya sejak 24-27 Agustus 2015 di Hotel Garden Palace, Surabaya telah menghasilkan berbagai keputusan. Forum Permusyawaratan tertinggi MUI ini diikuti oleh Pimpinan MUI tingkat pusat, provinsi dan perwakilan kabupaten/kota, pimpinan ormas-ormas Islam tingkat pusat, para ulama dan kiai pengasuh pondok pesantren, pimpinan perguruan tinggi Islam, zuama dan para cendekiawan muslim.






Untuk mencari solusi terhadap berbagai permasalahan umat Islam dan bangsa, Munas IX MUI menyampaikan Taujihat Surabaya yang isinya antara lain sebagai berikut:

Bahwa bagi umat Islam, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika merupakan bentuk kesepakatan bangsa Indonesia dalam ikhtiar perjuangan umat Islam Indonesia mendirikan negara di Nusantara untuk bersama-sama komponen bangsa lainnya mewujudkan cita-cita kehidupan yang adil, makmur, dan religious di bawah naungan ridha Allah Swt, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Para ulama dan tokoh-tokoh Islam adalah pelaku sejarah penting dan menentukan dalam pendirian negara, perumusan dan pengesahan Pancasila dan UUD 1945 serta pilihan negara kesatuan sebagai wujud tanggungjawab sebagai pimpinan umat serta semangat cinta tanah air, sehingga umat Islam dan umat beragama lainnya dapat menjalankan ibadah dan menunaikan ajaran agamanya secara bebas, leluasa dan aman serta hidup harmoni, tentram dan damai.

Umat Islam dewasa ini dihadapkan pada munculnya kelompok yang mengedepankan tekstualitas skripturalis dengan mendasarkan pemikiran, ideologi dan gerakannya pada pemahaman nash secara literal, sehingga apa yang disebutkan secara eksplisit dalam nash menjadi dasar mereka. Kelompok ini juga tidak berusaha membawa pemahaman nash kepada konteksnya.

Akibatnya kelompok ini menjadi eksklusif, intoleran, kaku (rigid), mudah mengkafirkan orang dan kelompok lain, mudah menyatakan permusuhan dan melakukan konflik, bahkan kalau perlu melakukan kekerasan terhadap sesama Muslim yang tidak sepaham.

Di sisi lain, muncul kelompok yang mengedepankan kontekstualisasi dalam pemahaman nash secara berlebihan dengan dalih menyelaraskan ajaran Islam dengan keadaan zaman. Akibatnya muncul ajaran yang keluar dari makna teks yang sebenarnya, cenderung permisif dan liberal. Kelompok ini bahkan berani menggugat nash-nash qath’i dan menafsirkannya berdasarkan pendekatan akal semata.

Kemunculan dua kelompok tersebut terkait banyak dengan pemahaman dan gerakan transnasional yang mengembangkan pengaruhnya di Indonesia. Penyebaran paham dan gerakan transnasional tersebut meningkat karena memanfaatkan alam kebebasan dan demokrasi di Indonesia.

Dua kelompok yang berkembang tersebut tergolong ekstrim (tatharruf), yakni tatharruf yamini (ekstrim kanan) dan tatharruf yasari (ekstrim kiri) adalah bertentangan dengan wujud ideal dan tepat dalam melaksanakan ajaran Islam di Indonesia dan dunia.

Pemikiran dan paham keagamaan serta ideologi, strategi dan gerakan dari dua kelompok yang berkembang tersebut, tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianut dan dibangun bangsa Indonesia dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Selain itu, perlu diwaspadai penyebaran paham dan gerakan ideologis, seperti komunisme, kapitalisme, neo liberalisme dan globalisme di Tanah Air. Paham dan gerakan-gerakan ideologis ini selain tidak sesuai dengan Islam juga mengancam eksistensi Pancasila dan NKRI.

Keberadaan kelompok-kelompok tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan ajaran Nabi saw yang dirumuskan dalam Piagam Madinah. Juga bertentangan dengan realitas sosial bangsa Indonesia yang majemuk ditinjau dari berbagai aspek dan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Mengusung Wasathiyah

Sebagai jawaban atas berkembangnya paham dan gerakan kelompok-kelompok tersebut di kalangan umat Islam dan bangsa Indonesia, Munas IX MUI bersepakat mengusung dan memperjuangkan “Islam Wasathiyah” dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam oleh umat Muslim Indonesia dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Islam Wasathiyah adalah ajaran islam sebagai rahmatan lil’alamin, rahmat bagi segenap alam semesta. Islam Wasathiyah adalah “Islam Tengah” untuk terwujudnya umat terbaik (khairu ummah).

Pemahaman dan praktik amaliyah keagamaan Islam Wasathiyah memiliki cirri-ciri sebagai berikut: Tawassuth (mengambil jalan tengah), Tawazun (berkeseimbangan), I’tidal (lurus dan tegas), Tasamuh (toleransi), Musawah (egaliter), Syura (musyawarah), Islah (reformasi), Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), dan Tahadhdhur (berkeadaban).

Taujihat Surabaya dibuat oleh Tim perumus Sub Komisi D (Rekomendasi) yang diketuai oleh Drs. KH. Slamet Effendy Yusuf, M.Si, HM Cholil Nafis (Wakil Ketua), Rofiqul Umam Ahmad (Sekretaris), dan kesembilan anggota lainnya, diantaranya: Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Abdul Rahman Saleh, Prof. Dr. Muhammad Baharun, SH, MA, Prof. Dr. Amany Lubis, MA dan sebagainya. (Desastian/Islampos)