Indonesia merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Bagaimana tidak, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam mencapai 182 juta. Ini berarti 12,8% dari jumlah muslim sedunia berada di Indonesia. Berkembangnya Islam di Indonesia ini tidak lepas dari peran para ulama’ negeri Hijaz yang merupakan tempat lahirnya Islam.
Dahulu ketika negara Indonesia belum merdeka dan masih terkenal dengan sebutan Nusantara, banyak dari para penduduknya yang hijrah ke negeri Hijaz yang sekarang menjadi negara Arab Saudi. Para penduduk Nusantara yang hijrah ke negeri Hijaz itu selain untuk menghindari kekejaman dari para penjajah yang menguasai wilayah Nusantara, mereka juga bertujuan memperdalam wawasan keislaman mereka kepada para ulama’ yang mengajar di Masjidil Haram.
Syekh Nawawi Al Bantani |
Para penduduk Nusantara mulai berdatangan ke tanah Hijaz pada abad ke-17. Setelah waktu berlalu dan semakin banyak penduduk Nusantara yang datang ke Hijaz, muncullah kampung Al-Jawi penduduknya merupakan para pendatang dari Nusantara. Setelah kemunculan kampung tersebut, mulai muncul juga beberapa nama dari Nusantara yang cukup berpengaruh dengan keilmuannya. Bahkan dari mereka ada yang menjadi imam di Masjidil Haram.
Nusantara telah banyak mempunyai kader terbaiknya yang mengajar di Masjidil Haram seperti Syaikh Nawawi al-Bantani. Ulama asli Banten ini merupakan keturunan dari Sultan Hasanudin dan Sunan Gunung Jati. Sebelum pindah ke Hijaz, Syaikh Nawawi sempat melakukan rihlah belajar ke beberapa pesantren di Jawa Barat dan pada usia 15 tahun Syaikh Nawawi diizinkan oleh ibunya untuk melanjutkan pengembaraannya dalam menuntut ilmu ke Negeri Hijaz.
Ketawadhuan Syaikh Nawawi disertai dengan kedalaman ilmunya membuat setiap pengajian beliau selalu ramai dipenuhi oleh para pelajar. Bahkan tercatat ada sekitar 200 pelajar yang setia untuk menghadiri majlis ilmunya di Masjidil Haram.
Hal itu karena ilmu yang diajarkan bukan hanya satu bidang, hampir semua cabang ilmu islam beliau kuasai seperti fiqih, tafsir, hadits, teologi, tasawuf dan lain-lain. Dari berbagai macam ilmu beliau dapat kita rasakan sekarang melalui karya-karya beliau yang sampai sekarang masih banyak dikaji di pesantren-pesantren salaf seperti Kasyifatu al-Saja, al-Maroqi al-‘Ubudiyah, Nashoih Al Ibad dan masih banyak lagi karya-karya beliau.
Selain murid-murid Syaikh Nawawi banyak yang menjadi ulama besar ketika pulang ke Indonesia, ada juga murid beliau yang menjadi ulama besar di Hijaz, seperti Syaikh Mahfudz at-Turmusi yang berasal dari Termas kabupaten Pacitan. Beliau merupakan ulama yang sangat dihormati, bahkan ada salah satu dari murid Syaikh Mahfudz at-Turmusi yaitu mufti Bombay, India Syaikh Sa’dullah al-Maiman jika ada muslim dari Indonesia yang singgah di Bombay maka akan dijamu layaknya seorang raja meskipun yang datang itu hanya orang biasa. Semua itu dilakukan semata-mata untuk menghormati Syaikh Mahfudz at-Turmusi.
Salah satu Orientalis dari Belanda yang bernama Snouck Hourgronje mengatakan, Syaikh Nawawi adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa.
Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie Purwakarta, K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.
Nama Syaikh Nawawi semakin melejit ketika beliau ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib al-Minangkabawi. Sejak itulah Syaikh Nawawi dikenal dengan nama resmi Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak hanya di kota Makkah dan Madinah saja beliau dikenal, bahkan juga sampai negeri Mesir. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.
Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal, Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekkah untuk menemui beliau.
Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama Abdul Ghafur- bertanya:
“Mengapa anda tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”.
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.
Lalu Snouck bertanya lagi:
”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”.
Syaikh Nawawi menjawab:
“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa".
Menurut berbagai sumber, Sewaktu K.H. Hasyim Asyari mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng. Beliau sering menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarib yang dikarang oleh gurunya, Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asyari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.
(Wikipedia)