Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
SUNGGUH, sangat beruntung Ath-Thabari yang mendapatkan nikmat berupa tuduhan dusta sampai-sampai jenazahnya pun tak boleh dikuburkan di siang hari. Penuduhnya bukan sembarangan. Dua orang besar anak dari dua tokoh sangat besar. Ia dilarang mengajar. Tapi itu justru menjadi masa yang syahdu untuk menulis kitab-kitab yang kelak menjadi rujukan utama ahlus sunnah hingga masa ini.
Tetapi itu merupakan kerugian yang besar bagi yang menuduh. Betapa ringannya menuduh, betapa beratnya akibat yang harus ditanggung. Adakah yang semacam ini akan terulang kelak? Adakah kita termasuk bagiannya?
Selain Ath-Thabari, Imam Syafi’i maupun Imam Ahmad yang menjadi tokoh rujukan ahlussunnah juga pernah digebuki dan disiksa dengan tuduhan yang apabila seseorang terkena tuduhan itu, niscaya yang terbayang di benak orang adalah biang kesesatan nyata yang sangat besar.
Bagi yang dituduh, itu tidak mendatangkan madharat akhirat jika bersabar. Orang lain beramal, pahalanya bagi dia jika dia tetap tidak ridha terhadap orang yang memfitnah dan menyebarkannya. Makin besar andilnya dalam membuat berita bohong atau menyebarkannya, makin besar azab Allah Ta’ala baginya.
Ingatlah sejenak firman Allah Ta’ala:
ِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur, 24: 11).
‘Aisyah itu orang yang terjaga. Serupa Maryam. Belum sempat mengalami puber, sudah menikah dengan lelaki terbaik: Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Tak punya social media yang memudahkan ngobrol dengan orang lain di dunia maya. Tak pernah juga mengalami cinta monyet. Tetapi wanita semulia itu, seterjaga itu, tetap saja terkena fitnah dan tudingan. Siapa yang memfitnah? Mari kita ingat kembali lembaran sejarah. Siapa yang mudah percaya pada isu yang tidak jelas? Orang beriman. Salah satunya bahkan penyairnya Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam di medan perang. Apa sebabnya mudah percaya? Bersebab perkataan “aku menyaksikan sendiri” atau “aku mendengar sendiri” tanpa mendatangkan bukti.
Apakah “mendengar sendiri” tidak cukup kuat sebagai alasan untuk mempercayai? Betapa banyak orang yang mendengar dan menyaksikan sendiri pun tidak dapat menangkap informasi dan fakta secara akurat. Bahkan dalam persoalan kecil pun, kita kadang mengalami salah dengar. Meminta sapu, ternyata diambilkan shampoo. Di berbagai majelis, saya juga kerap mengalami kejadian tragis. Sudah menjelaskan dengan penuh semangat tentang apa yang menurut saya tepat dan benar, ternyata ada di antara mustami’in (audiens) yang mempertanyakan mengapa saya tidak setuju. Padahal saya sudah panjang lebar menjelaskan alasan mengapa saya setuju.
Ini hanyalah sekedar contoh.
Lalu, bagaimana sikap yang seharusnya kita ambil saat mendengar isu tentang buruknya atau sesatnya seseorang? Kaidah dasarnya, terhadap mukminin kita husnuzhan. Sementara terhadap orang fasik, kita curiga dulu sampai mampu melakukan tabayyun dengan benar.
Mari kita renungi sejenak firman Allah Ta’ala:
لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَٰذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (QS. An-Nuur, 24: 12).
Bagaimana kalau kita cuma share gosip tentang rusak dan sesatnya seseorang? Jika tidak benar, kita terhitung sebagai pendusta dan tukang fitnah. وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (Dan yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar).
Ini merupakan kerugian yang sangat besar, musibah yang sangat memilukan. Lalu, apa yang kita perlukan saat mendengar kabar kabur yang belum tentu benar, meskipun tampaknya sangat meyakinkan? Mari kita pikirkan firman Allah Ta’ala:
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nuur, 24: 15).
Penyebab orang mudah berpartisipasi menyebarluaskan tuduhan, meskipun tidak merasa menyebarluaskan (cuma share kok…) adalah karena menganggapnya sebagai perkara yang ringan. Padahal di sisi Allah Ta’ala itu merupakan persoalan yang sangat besar.*
Mohammad Fauzil Adhim, penulis buku-buku parenting. Twitter, @kupinang
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar