Diterjemahkan dari artikel yang ditulis Dr. Laurence Brown dari leveltruth.com
Orang Kristen penganut trinitas (Kristen trinitarian) memberitahu kita bahwa Yesus harus mempersembahkan dirinya dan mati di tiang salib untuk menebus dosa-dosa kita. Percakapan antara seorang Muslim dengan seorang Kristen bisa jadi seperti ini:
Muslim: Oh. Jadi kamu percaya Tuhan mati?
Kristen Trinitarian: Tidak, tidak, seperti itu. Hanya bagian manusianya yang mati.
Muslim: Dalam hal ini, pengorbanannya tidak bersifat ilahi, karena hanya bagian manusianya yang mati.
Kristen Trinitarian: Tidak, tidak, tidak. Bagian manusianya mati, tetapi Yesus / Tuhan harus menderita di atas kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita.
Muslim: Apa maksudmu "harus menderita"? Tuhan tidak harus melakukan apapun.
Kristen Trinitarian: Tuhan membutuhkan persembahan dan tidak ada manusia yang sanggup berkorban untuk ini. Tuhan membutuhkan persembahan yang cukup besar untuk menebus dosa manusia, sehingga Ia mengutus anak-Nya yang tunggal.
Muslim: Kalau begitu konsep Tuhan kita berbeda. Tuhan yang kami sebagai Muslim imani tidak memiliki kebutuhan. Tuhanku tidak pernah ingin melakukan sesuatu tetapi tidak bisa karena Dia perlu hal lain untuk melakukannya. Tuhanku tidak pernah mengatakan, "Wah, Aku ingin melakukan ini, tapi Aku tidak bisa. Pertama aku butuh suatu hal. Aku butuh seseorang untuk menjadi korban!" Jadi disini tampak bahwa Tuhan bergantung pada hal lain untuk bisa memenuhi kebutuhan-Nya. Dengan kata lain, Tuhan tidak bersifat Maha Kuasa karena Dia membutuhkan sesuatu. Bagi seorang yang mengenal tauhid (sifat-sifat keesaan Tuhan), hal itu tidak mungkin, karena Tuhan itu Satu, Maha Tinggi, tidak bergantung pada apapun, dan semua ciptaan bergantung pada-Nya. Manusia memiliki kebutuhan, tapi Tuhan tidak. Kita membutuhkan bimbingan-Nya, belas kasih dan pengampunan-Nya, tetapi Dia tidak membutuhkan apa-apa dalam hal itu. Dia menciptakan manusia untuk beribadah dan menyembah-Nya, untuk keuntungan manusia itu sendiri. Karena dengan mematuhi-Nya, maka manusia akan menjalani kehidupan yang baik dan pada akhirnya akan masuk surga. Apabila manusia tidak mau beribadah dan menyembah-Nya, maka manusia itu sendiri yang rugi, sedangkan Tuhan tidak rugi apapun dan Dia tidak membutuhkan ibadah kita.
Kristen Trinitarian: Tapi itu intinya; Tuhan memerintahkan kita untuk menyembah-Nya, dan kita melakukan itu melalui ibadah. Tapi Tuhan bersifat murni dan suci, sedangkan umat manusia memiliki tabiat melakukan dosa. Kita tidak bisa mendekati Tuhan secara langsung karena dosa-dosa kita yang kotor. Oleh karena itu, kita perlu seorang perantara (Yesus) untuk menyampaikan ibadah kita.
Muslim: Oke. Kalau begitu apakah Yesus berdosa?
Kristen Trinitarian: Tidak, ia tidak berdosa.
Muslim: Seberapa sucikah dia?
Kristen Trinitarian: Yesus? 100% suci. Dia adalah Tuhan / Anak Tuhan, sehingga dia 100% suci.
Muslim: Kalau begitu kita tidak bisa mendekatinya sebagaimana kita tidak bisa mendekati Tuhan. Argumenmu adalah bahwa manusia tidak bisa berdo’a langsung kepada Tuhan karena ketidakcocokan antara dosa manusia dengan sesuatu yang 100% suci. Jika Yesus 100% suci, maka dia juga tidak bisa didekati sebagaimana Tuhan. Di sisi lain, jika Yesus tidak 100% suci, maka ia sendiri tercemar dan tidak bisa mendekati Tuhan secara langsung, dan tentu saja tidak bisa menjadi Tuhan, Anak Tuhan, atau pasangan dari Tuhan.
Aku akan memberikan sebuah contoh. Misalnya kita akan bertemu seorang pria yang teramat suci. Dia adalah orang tersuci yang pernah hidup di bumi. Kekudusan memancar dari jiwanya, mengalir dalam darahnya. Jadi kita pergi untuk menemuinya, tetapi kita diberitahu bahwa pria "suci" itu tidak mau menemui kita. Bahkan, dia tidak tahan berada di ruangan yang sama dengan kita karena kita punya banyak dosa. Kita bisa bicara dengan resepsionisnya, tapi dengan orang suci itu sendiri? Tidak mungkin! Dia terlalu suci untuk duduk bersama kita sebagai manusia yang lebih rendah. Jadi apa yang kita pikirkan sekarang? Apakah dia terdengar suci, atau sakit jiwa?
Akal sehat kita tentu mengatakan bahwa orang suci mudah didekati. Semakin suci dirinya, semakin mudah untuk didekati. Semakin suci seseorang, maka semakin lembut hatinya dan semakin ingin dirinya mengajarkan orang lain agar mencapai derajat kemuliaan. Jadi mengapa manusia memerlukan perantara untuk berhubungan dengan Tuhan? Dan mengapa Tuhan menuntut persembahan dari apa yang dikatakan orang Kristen sebagai "Putra-Nya yang tunggal”? Lalu kalau kita membaca dalam Matius 12: 7 yang berbunyi “Yang Kukehendaki adalah belas kasihan dan bukan persembahan.” Kemudian dalam Matius 9:13 dimana Tuhan berfirman “Yang Kukehendaki adalah belas kasihan dan bukan persembahan” Mengapa, kemudian, para pendeta mengajarkan bahwa Yesus harus dikorbankan? Dan jika ia dikirim untuk tujuan ini, kenapa dia berdo’a untuk diselamatkan ketika di tiang salib?
Mungkin do’a Yesus terjawab oleh Ibrani 5: 7, yang menyatakan bahwa karena Yesus adalah orang yang saleh, maka Tuhan menjawab do’anya untuk diselamatkan dari kematian: "Dalam hidupnya sebagai manusia, ia telah mempersembahkan do’a dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkannya dari maut, dan karena kesalehannya, ia telah didengarkan." (Ibrani 5:7). Sekarang, apakah "Tuhan mendengar doa’nya" yang berarti bahwa Tuhan mendengar Yesus berseru keras dan memohon agar dirinya diselamatkan namun mengabaikannya? Tentu tidak. Pastilah Tuhan menjawab do’anya. Ini tentu bukan berarti bahwa Tuhan mendengar namun menolak untuk mengabulkan do’anya, karena kalau begitu maka ayatnya harusnya berbunyi "dan karena kesalehannya, ia TIDAK didengarkan." Tampak tidak masuk akal bukan?
Hm. Jadi bukankah itu menunjukkan bahwa Yesus mungkin saja tidak pernah disalibkan?
Tapi mari kita berpikir sejenak dan bertanya kepada diri sendiri: “Mengapa kita harus percaya bahwa kita telah diselamatkan?” Di satu sisi, dosa warisan sudah melekat pada seluruh umat manusia, entah kita mengimani hal itu atau tidak. Di sisi lain, keselamatan kita dianggap tergantung pada keimanan, yaitu kita harus mengimani penyaliban dan penebusan yang dilakukan Yesus. Dalam kasus pertama (dosa warisan), keimanan dianggap tidak perlu. Tapi dalam kasus kedua (penyaliban dan penebusan dosa), keimanan diperlukan. Timbul pertanyaan, "Apakah Yesus telah menebusnya atau belum?" Jika ia telah menebusnya, maka dosa-dosa kita diampuni, baik kita beriman atau tidak. Jika ia tidak menebusnya, maka baik kita beriman atau tidak, maka dosa-dosa kita belum diampuni. Terakhir, seseorang tidak bisa mengampuni utang orang lain dan masih menuntut pembayaran.
Argumennya adalah bahwa Tuhan mengampuni, tapi hanya jika diberikan pengorbanan. Tapi Dia berfirman bahwa Dia tidak menginginkan pengorbanan itu (lihat Matius 9:13 dan 12: 7). Kalau begitu, timbul pertanyaan: Dari mana konsep penebusan dosa berasal? Menurut Bibel (yang tidak diketahui siapa penulisnya, terdiri dari ratusan ribu manuskrip, dan manuskrip itu saling berkontradiksi), konsep ini bukan dari Yesus. Lebih jauh, konsep keselamatan dalam Kristen bergantung pada dosa warisan, dan kita harus bertanya pada diri sendiri mengapa kita harus percaya pada konsep ini jika kita tidak bisa menemukan bukti-bukti yang mendukungnya dan konsep ini sendiri terdengar tidak masuk akal?