Oleh Zulfi Akmal
Mahasiswa S3 Tafsir Al-Azhar
Pada 1 Februari 1953, dilahirkan seorang anak laki-laki, berasal dari keluarga yang sangat sederhana, di daerah pedalaman Mesir, di desa Ar Ruzaiqat, kecamatan Arman, provinsi Qina. Dia 8 bersaudara, 5 laki-laki, 3 perempuan. Dilahirkan dalam keadaan tidak seperti manusia lainnya – tidak memiliki dua kaki-
Ketika berumur 1.5 tahun, ia menderita demam tinggi yang mengakibatkan kelumpuhan pada tubuhnya dan kehilangan penglihatan.
Semenjak itu program untuk mengobatinya menjadi kesibukan keluarganya. Kehidupan mereka terkonsentrasi dari seorang dokter kepada dokter yang lain. Namun sayang, semua dokter sepakat mengatakan bahwa anak itu tidak mungkin diobati, kondisinya tidak akan bisa berubah.
Tentu saja keluarganya merasa sangat sedih. Kematian anak itu menjadi harapan segera bagi orang terdekatnya supaya mereka terbebas dari beban perasaan yang menghimpit. Agar kecemasan yang berkepanjangan cepat berlalu. Namun Allah berkehendak lain.
Untuk memperbaiki perekonomian, keluarganya pindah ke kota Cairo. Mereka tinggal di daerah Mansyiyah ash Shadr. Si anak yang diharapkan kematiannya itu diserahkan untuk menghafal al Qur’an. Pada umur 11 tahun ia bisa menuntaskan hafalannya 30 juz.
Anak itu terus tinggal terpenjara di rumahnya sampai berumur 16 tahun tanpa mengenyam pendidikan sekolah. Sampai seusia itu tidak ada yang ia lakukan selain mengulang hafalan al Qur’an.
Di umur 16 tahun barulah ia mulai masuk bangku sekolah. Dia bisa langsung duduk di kelas SMP tanpa melalui SD terlebih dahulu karena ia sudah hafal al Qur’an dengan sangat baik.
Sebagaimana biasanya, sebagian anggota keluarga besarnya menyarankan supaya ia masuk sekolah kejuruan yang mengajarkan keterampilan khusus buat orang buta, karena itu yang pantas bagi orang seperti dia, yang tanpa kaki dan penglihatan. Yang lain menyarankan supaya dia tetap di rumah saja seperti sebelumnya. Dan yang lain lagi berharap supaya ia segera mati, karena tidak ada manfaatnya bila ia hidup lebih lama lagi. Kematian adalah hal terbaik bagi manusia buta dan lumpuh seperti dirinya!!
Akan tetapi ia tetap keras untuk bersekolah. Dan ayahnya mendukung hal itu.
Alhamdulillah, bangku SMP ia lalui dengan sangat baik. Dia lulus dengan nilai mencengangkan. Kemudian ia melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Selama 4 tahun. Selama itu ia datang ke sekolah dengan cara digendong atau merangkak di tanah. Baik di musim panas maupun dingin. Kondisi tersulit yang ia alami ketika ia harus merangkak ke sekolah ketika hujan turun di musim dingin karena tidak ada yang punya kesempatan menggendongnya. Harus merangkak di atas tanah yang becek tidak menyurutkan keinginannya untuk menuntut ilmu.
Pada tahun terakhir SMA diberitakan bahwa ia tidak lulus ujian akhir. Kabar itu memberika tamparan keras kepada dirinya. Namun itu semua ia terima dengan senyuman. Tapi akhirnya ia mendapatkan kejutan kalau ia sebenarnya lulus ujian. Karena tempat keluar nama orang buta berbeda dengan orang yang bisa melihat.
Setelah tamat dari SMA ia ingin melanjutkan ke kuliah bahasa dan terjemah, sebab ia bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Kemampuan itu ia miliki berkat banyak mendengar pelajaran bahasa Inggris. Setelah mempertimbangkan lebih dalam, ia merubah keinginannya itu. Akhirnya ia melanjutkan pendidikan di kuliah Ushuluddin.
Ijazah S 1 di jurusan Dakwah Islamiyah berhasil ia peroleh pada tahun 1979. Setelah itu ia kembali mengulang kuliah di Fakultas yang sama di jurusan Tafsir. Tahun 1983 ia berhasil mendapatkan ijazah S 1 yang kedua.
Dia tidak puas hanya dengan dua ijazah S 1. Dia ingin meningkat kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sekalipun harus melalui melalui rintangan dan kesulitan yang tidak ringan, apalagi bagi orang seperti dia, ditambah lagi S 2 al Azhar yang model kesusahannya tidak ada duanya di universitas manapun di dunia, dia tetap ngotot untuk menyelesaikan program masternya. Kesulitan itu justru menjadikan semangatnya semakin berkobar-kobar.
Dalam masa tujuh tahun, mulai tahun 1980-1987 ia ditunjuk oleh Departemen Agama Mesir sebagai imam dan khatib. Di tengah-tengah menjalankan tugas itu ia berhasil menyelesaikan S 2 nya. Tepatnya pada tahun 1986 dengan nilai cum laude. Tesisnya berjudul “Metode Islam Dalam Meningkatkan Perekonomian”.
Setelah lulus S 2 ia diangkat menjadi asisten dosen di jurusan Dakwah Islamiyah Universitas Al Azhar. Sekaligus ia juga mendaftar untuk melanjutkan pendidikan di program S 3 dengan judul disertasi “Dakwah Islam di Abad ke-16”. Tiga tahun setelah itu, tepatnya tahun 1989 ia berhasil menggondol gelar doktor dengan nilai summa cum laude.
Karirnya pun menanjak sampai ia memegang jabatan sebagai ketua jurusan Tsaqafah Islamiyah di Fakultas Dakwah Al Azhar. Puluhan tesis dan disertasi sudah ia bimbing dan semuanya lulus dengan nilai “mumtaz”.
Dia juga aktif melahirkan karya tulis berbentuk buku, mengisi acara di radio dan televisi, bacaan al Qur’an dengan berbagai qiraat, dan juga ada ceramah dalam bahasa Inggris di media elektronik negara-negara Arab.
Adapun status sosialnya, ia pernah menikah selama 15 tahun, mulai pada tahun 1993-2008. Takdir Allah tidak mengizinkan rumah tangganya berlanjut, dan berakhir dengan perceraian. Dan Allah juga tidak mentakdirkannya memiliki keturunan.
Kondisi kesehatannya, saat ini ia menderita penyakit gula dan penyakit yang berhubungan dengan lambung serta pencernaan.
Tahukah anda siapakah orang yang aku ceritakan? Dia adalah diriku, Profesor DR. Zaky Muhammad Ahmad Utsman.
Sengaja aku ceritakan perihal diriku ini, semoga bisa memberikan motivasi bagi saudara-saudaraku yang mengalami kesulitan dalam hidup. Betapa diriku menghadapi kesulitan dan kekerasan hidup dengan cacat yang tidak ringan ini (tanpa kaki dan penglihatan), tapi aku tidak pernah pesimis dan putus asa. Aku juga tidak menyesali takdir yang diturunkan Allah kepadaku. Karena aku merasakan ada Allah yang selalu mendampingi, membimbing dan membantuku dalam setiap kesulitan.
Tidak dipungkiri, kadang-kadang aku ditimpa kepanikan karena ujian hidup yang terlalu berat. Akan tetapi betapa cepatnya Allah membukakan hikmah dari cobaan itu. Yang merubah segala ujian menjadi karunia. Hatiku menjadi lapang, dan aku ucapkan “Selamat Datang Ketentuan Allah”. Selamat datang segala ujian, cobaan dan musibah. Aku terima dengan reda selama itu adalah takdir dari Allah.
Setiap aku ingat masa laluku yang sudah jauh berlalu, aku buka lembaran-lembaran sejarah hidupku, aku perhatikan satu persatu fase-fase yang sudah aku tapaki, aku berkata: “Benar sekali apa yang difirmankan Allah: “Allah Maha Mengetahui sedangkan engkau tidak mengetahui”.
Coba bayangkan, apa yang akan ditunggu oleh seorang anak kecil buta lagi lumpuh? Apa yang mungkin bisa ia persembahkan untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain?
Andaikan Allah memberikan pilihan kepadaku di waktu aku kecil antara bisa melihat atau buta, pasti aku memilih untuk bisa melihat. Jika Allah memberikan pilihan kepadaku antara lumpuh atau bisa berjalan, pastilah aku memilih bisa berjalan. Akan tetapi sekarang, pada setiap detik dari kehidupanku aku melihat hikmah yang sangat besar dari setiap takdir dan ketentuan yang Allah berikan terhadap diriku. Aku semakin yakin bahwa pilihan Allah lebih baik dari pada pilihanku sendiri.
Sekarang aku sudah siap-siap meninggalkan dunia dan menghadap ke akhirat. Aku persembahkan kisah ringkas dari kehidupanku ini, semoga bisa menjadi penawar bagi setiap orang yang dirundung sedih, kecewa, susah dan keberatan merima ketentuan Allah. Semoga ini bisa menjadi pesan nyata bahwa Allah tidak menciptakan kita supaya kita letih dan susah, tidak menguji kita dengan tujuan mengazab kita, tapi semua diberikan Allah untuk mendidik kita.
Percayalah pada takdir Allah. Hadapilah kehidupan bagaimanapun keadaannya dengan senyum. Selalulah bersama Allah supaya Allah mempersamaimu. Redalah kepada Allah supaya Allah juga reda kepadamu.
***
Sebagaimana dikisahkan oleh Prof. Dr. Zaky Utsman pada pengajian di Mesjid As Salam Hay 10 Nasr City Cairo dan dituliskan dalam kata pengantar buku “Marhaban bi Qadhaillah” karya Syekh Muhammad Sayyid Makky Imam dan Khatib Mesjid As Salam.